Ayah, Ibu, Aku, dan Annisa. Kami satu
keluarga yang tinggal di sebuah rumah yang tak begitu besar dan sederhana namun
nyaman untuk ditinggali. Kakek kami telah wafat dua tahun lalu, dan nenek pun
telah wafat satu tahun lalu. Dahulu kami tinggal bersam di rumah yang sederhana
ini, kami saling mencintai dan mengasihi. Kakek dan nenek adalah ornga tua dari
Ibuku, sedangkan orang tua dari ayahku mereka tinggal di desa sebelah yang
jarknyanya 10 km dari rumahku, Mereka pun telah
wafat.
Ayahku bernama Mahmuddin, ia keturan
suku Betawi sedangakan Ibuku Aisyah keturan suku Sunda. Mereka telah menikah hampir
dua puluh lima tahun, dengan dikaruniai dua orang anak yaitu Aku dan Annisa.
Aku Muhammad Ustman bin Mahmuddin, tapi Aku biasa disapa dengan panggilan
Ahmad. Annisa Azzahra, ia adik perempuanku satu-satunya. Ia biasa dipanggil
Icha, Icha sekarang berumur 10 sedangkan aku beurumur 15 tahun dan aku duduk di
kelas tiga SMP Al Azhar. Icha memang agak berbeda dari anak-anak lainya, ia
mengalami keterbelakangan mental atau dengan nama medis Down Syndrom. Sehingga ia sulit untuk bekomunikasi dan bergaul
dengan anak-anak sebayanya. Ia pun tidak dapat bersekolah di sekolah-sekolah
umum seperti anak-anak pada umumnya. Sehingga Ayah dan Ibu setuju untuk
menyekolahkannya di sekolah luar biasa (SLB) Cinta Kasih Orang Tua. Ya, memang
berat awalnya menerima keadaan Icha seperti demikian, tapi lambat laun kami pun
mulai terbuka dan ikhlas menerima keadaan ini.
Hampir 1 tahun Icha bersekolah di SLB
Cinta Kasih Orang Tua, dan ini tahun keduanya bersekolah disana. Kami sangat
senang dapat melihat Icha dengan keadan seperti ini. Ia dapat berkomunikasi
dikit demi sedikit hasil dari pembelajaran sekaligus terapi yang diadakan SLB
tersebut. Awal tahun keduanya ia bersekolah di SLB, icha mengalami banyak
perkembangan, mulai dapat berkomunikasi walupun sedikit, kemudian dapat bergaul
dengan anak-anak senasib dengannya.
Lima bulan ditahun keduanya
bersokolah di SLB Cinta Kasih Orang Tua telah berlalu, Akan tetapi beranjak
bulan keenamnya ada perubahan yang terjadi
pada Icha, ia jadi segan untuk bersekolah. Walaupun bersekolah ia tak
sampai satu hari, guru pembimbingnya menghantarkannya pulang kerumah dengan
menjelaskan bahwa Icha terus meminta untuk pulang. Kami pun merasa heran dengan
keadannya Icha saat ini, ia tidak biasanya bertingkah laku seperti ini.
Biasanya selalu ceria dan bersemangat saat ingin berangkat kesekolahnya.
Sampai suatu hari, disaat Icha ingin
berangkat sekolah dan ibu pun telah siap untuk mengantarkan Icha kesekolahnya,
tiba-tiba badan Icha panas sekali, suhu badannya mencapai 40 derajat Celcius.
Ibu sangat khawatir dengan keaadan ini. Ayah sudah pergi bekerja dan aku pun
sudah berangkat sekolah. Karena ibu khawatir dengan keadaan seperti ini, ibu
langsung menelepon ayah untuk pulang kembali. Berselang 20 menit ayah pun tiba
dirumah, dan ibu juga memeberitahu aku tahu aku melalui pesan singkat (SMS).
Akupun pulang kerumah pas jam istirtahat siang dengan meminta izin kepada wali
kelas ku atas kejadian yang terjadi pada Icha.
Setelah aku tiba dirumah Icha sudah
bawa kekamar ayah dan ibu denga kepala dikompres dengan sehelai handuk basah.
Dua harin berselang Icha belum pergi kesekolah, karena ibu dan ayah khawatir
terjadi kenapa-kenapa bila Icha bersekolah. Guru pembimbing icha merasa
khawatir, apakah ada sesuatu hal yang terjadi pada Icha karena Icha sudah dua
hari tidak masuk sekolah. Ibu guru pun menelpon ibu, lalu menanyakan kabar Icha
yang sebenarnya. Kemudian Ibuku menjelaskan apa yang terjadi, mendengar apa
yang dijelaskan oleh ibuku Ibu Guru terkejut dan tak lama kemudian beliau
datang kerumah untuk menjenguk Icha.
Dua hari telah beralalu, Icha kini
mulai sehat kembali dan ia tak sabar untuk berangkat kesekolah untuk belajar
dan bermain bersama teman-temannya. Ibu Guru pembimbing Icha merasa senang karena
Icha dapat bersekolah lagi, satu hari ini berjalan seperti bagaimana biasanya.
Icaha belajar berbicara, menulis, dan berhitung, tak ketinggalan bermain dengan
teman-temannya. Sepulangnya Icha dirumah, Icha langsung meminta makan kepada
ibu, Icha makan dengan lahap dan banyak tak seperti biasanya. Setelah makan
Icha langsung tidur dengan ditemani ibu diiringi dongen kesukaan Icha.
Tiba-tiba Icha terbangun dari tidurnya dan merintih kesakitan sambil memegang
kepalanya. Suhu badanya pun panas sama seperti kejadian dua hari yang lalu.
Ibu dan Ayah segera membawanya
kerumah sakit dan memerikasnya. Setelah diperiksa, ayah dan ibu mendengarkan
hasil pemeriksaan dokter. Ternyata di kepala Icha terdapat benjolan kecil dan
dokter mengatakan ini adalah gejala dari kanker otak. Mendengar penjelasan itu
semua, Ayah dan Ibu sangat terkejut dah tak mempercayainya. Tapi apa boleh daya
memang takdir sudah berkata demikian. Selama dua hari Ayah dan Ibu
berkonsultasi dengan dokter untuk mendapatkan jalan yang baik untuk kesehatan
Icha.
Dokter hanya menyampaikan Icha harus
beristirahat yang cukup dan diminum obatnya sampai habis sesuai dengan aturan
konsumsi. Tapi ada satu ahl yang disampaikan oleh dokter yang membuat Ayah dan Ibu
tersengang dan kaget. Hanya ada satu sacara untuk menyembuhkan Icha yaitu
dengan cara operasi. Operasi ini membutuhkan biaya yang besar yaitu sekitar dua
ratus juta rupiah.
Ayah dan Ibu bingung dengan keadaan
seperti ini. Dari mana uang sebanyak itu bisa didapat ?. Aku pun kaget
mendengar apa yang ibu jelaskan pada ku tentang penjelasan dokter. Aku pun
bingung apa yang harus aku perbuat sebagai seorang kakak untuk adiknya. Ayahku
hanyalah seorang pegawi negeri yang berpenghasilan dua juta rupiah perbulan.
Tidak mungkin cukup untuk memenuhi biaya operasi yang mahal itu. Kian hari
berita tentang keadaan Icha terdengar banyak orang mulai dari tetengga, saudara
dari ayah dan ibu, Ibu guru pembimbing Icha sampai teman-temaku di sekolah.
Tanpa ada sepengetahuan ayah dan ibu, mereka semua ternyata menggalang dana
untuk mengumpulkan uang guna biaya operasi Icha. Tidak sampai lima hari dana
tersebut mencapai lebih dari dari cukup untuk membiayai operasi Icha. Ibu guru
pembimbing sebagai perwakilan menyampaikan turut prihatin atas kondisi Icha dan
menyerahkan dana untuk biaya operasi Icha. Kami sangat senang dan bersyukur
ternyata banyak orang yang peduli dengan kondisi Icha saat ini.
Dua hari menjelang operasi, kondisi
Icha semakin memburuk, tapi untung dokter dapat menangani dengan baik. Sehinnga
tidak terjadi hal yang tidak diharapkan. Icha masih tebaring di tempat tidur
rumah sakit dengan tangan diinfuse, tapi ia masih bisa dapat mengucapkan apa
yang ia inginkan seperti mau minum dan mau pipis (baung air kecil). Senyuman
yang hangat dan manis dari Icha itulah yang selalu menjadi motivasi kami untuk
tidak menyerah dangan keadaan. Sehingga kami sangat mengharapkan Icha dapat
sehat seperti sediakala.
Satu hari menjelang berjalannya
operasi , Icha tidur dengan lelapnya. Kemudian ia terbangun dari tidurnya dengan
menebar senyum kepada ibu, ayah dan aku yang sedang berada di situ. Icha
memegang erat tangan ibu yang duduk di samping tempat tidurnya, lalu ia berkata
Icha Sayang dan cinta Ibu, Ayah dan Kaka
dengan nada suara yang parau. Seketika pegangan erat Icha melemah dan matanya
tertutup. Ayah dan Ibu panik akupun demikian, ibu menggerak-gerakkan badan Icha
sambil memanggil-manggil namanya “ichaa..! Annisa…! Annisa Azzahra…! Dengan
suara lirih dan air mata yang terus mengalir dipipi ibu. Ayah segera berlari
untuk memangil dokter.
Aku pun tak tahan menehan air mata
yang mengalir dengan derasnya. Meskipun dokter berusaha untuk mengembalikan
detak jantungnya. Namun Alloh telah menentukan ajalnya. Kini Annisa telah pergi
untuk selamanya.
Seseorang yang kami cinta, yang kami
sayang walau dengan kondisi fisik dan mental yang terbelakang kini telah tiada.
Kami hanya bisa mengenang senyum manis dan hangatnya serta barang-barang
peninggalan Icha.
Selamat jalan adikku Icha, Annsia Azzahra. Semoga engkau mendapatkan
tempat yang terbaik di sisi-Nya.
Karya : Faisal Abriansyah (Selasa, 12 Juni
2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar