Selasa, 04 Oktober 2011

Pola Pikir ( Shift Paradigm)





POLA PIKIR(Shift Paradigm)
Pola pikir adalah gabungan dari dua buah kata yaitu “pola” dan “pikir”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pola sendiri memilki definisi system atau cara kerja,  pikir memiliki definisi akal atau ingatan. Sedangkan, akal atau ingatan berasal dari otak. Jadi, bila kedua kata tersebut digabungkan dapat bermakna sebuah system atau cara kerja yang diatur oleh otak kemudian disimpan oleh otak dan disebarkan ke seluruh tubuh sebagai acuan dalam bertindak dan sebagai pembentukan karakter. Karena otak ada sistem saraf dan system saraf adalah pusat pengendalian pergerakan tubuh
Makna Pola Pikir adalah menjalankan (P)prinsip-prinsip dalam meng(O)rganisir daya kekuatan pikiran kedalam konsepsi dimana kekuatan (L)atihan kedalam (A)ktualisasi membentuk agar (P)embenaran dengan pemanfaatan (I)ntelegensia sebagai suatu (K)ekuatan yang di (I)ntergrasiksn secara (R)asional.            
Dengan memperhatikan pemahaman rumusan diatas, maka yang menjadi masalah bagaimana caranya anda mampu untuk mengungkit kemampuan memanfaatkan otak dalam berpikir, dalam hal ini akan sangat bergantung kepada seberapa jauh anda dapat merumuskan kembali yang terkait dengan PENDEKATAN apa yang akan anda gunakan dalam menggali kekayaan terbesar yang ada dalam OTAK untuk dapat dimanfaatkan. 
Sejalan dengan pemikiran diatas, maka pendekatan yang kita gunakan dalam memaksimumkan pemanfaatan otak dalam menemukan jati diri sebagai manusia dalam wujud tanpa topeng kepalsuan sebagai berikut:                        

Pertama, “pendekatan dengan menggali makna BAKAT yag tersembunyi dalam diri”, maka disini anda lebih banyak menggerakkan kekuatan otak dengan pola pikir yang tidak sadari artinya lebih menekankan kekuatan dari menghayati yang kita sebut dengan “intuisi”(hasil kerja hati dengan penghayatan) anda sendiri melalui suatu kemampuan untuk menggerakkan kekuatan kebiasaan pikiran dalam mengetuk dinding jiwa dalam meretas jalan menjadi diri sendiri.         
Kedua, “pendekatan dengan menggali makna arti berdasarkan pengetahuan dari pengalaman”, maka disini anda lebih menekankan kemampuan berpikir yang disadari berarti ada niat untuk menggali tambang emas yang ada pada anda sebagai manusia ciptaan Allah SWT, disatu sisi ia harus merencanakan, menggerakkan, memimpin dan mengawasi terhadap unsur memori, emosi dan naluri yang ada dalam otak dan disisi lain bagaimana ia memberdayakan alat berpikir berupa kesadaran, kecerdasan dan akal untuk merumuskan dan memecahkan masalah dalam berpikir.
Ketiga, “pendekatan dengan menggali makna perjalanan hidup abadi”, maka anda berpikir ingin mendapatkan barokah yang bersumber dan merupakan karunia dari sifat Rahman-Rahim (Rahmat)Nya semata berarti anda berpikir memanfaatkan otak mencari jawaban bagaimana syariat lahir adalah untuk diamalkan oleh jasad batin. Oleh karena itu lahir batin anda yang berpadu erat tanpa terpisah-pisah, maka amalan lahir dan batin wajib dilaksanaksanakan serentak dalam satu masa di semua waktu dan keadan.                
Dengan demikian hikmah berpikir itu harus dapat juga diaktualisasikan untuk kebaikan dirinya dan orang lain, maka disitulah anda akan menemukan tentang diri anda dengan mengkoordinasikan, mengintegrasikan, mengsinkronisasikan (3M) dari proses pemberdayaan otak untuk melakukan perubahan dalam bersikap dan berperilaku di dunia dan didalam kesiapan memasuki hidup di akhirat
Untuk memberi daya dorong, apakah anda memiliki kemampuan untuk menggali pola pikir sebagai kekayaan terbesar, maka sangat tergantung kesiapan anda dalam melaksanakan ketiga pendekatan tersebut diatas kedalam usaha meperkuat daya kemauan kedalam langkah mengetuk dinding jiwa dalam membangk Sumber : itkan kebiasaan pikiran. http://ricky1206.blogspot.com/2010/09/pengertian-pola-pikir-mindset.html#ixzz1Zmbaa3lB
Pola pikir dari sudup pandang Islam adalah cara yang digunakan untuk memikirkan sesuatu; yakni cara mengeluarkan keputusan hokum tentang sesuatu, berdasarkan kaidah tertentu yang diimani dan diyakini seseorang. Ketika seseorang memikirkan sesuatu untuk mengeluarkan keputusan hukum terhadapnya dengan menyandar kepada akidah Islam, maka ‘aqliyah-nya merupakan ‘aqliyah
Islamiyah (pola pikir Islami). Jika tidak seperti itu, maka ‘aqliyahnya merupakan ‘aqliyah yang lain. Sedangkan nafsiyah (pola sikap) adalah cara yang digunakan seseorang untuk memenuhi tuntutan gharizah (naluri) dan hajat al-’adhawiyah (kebutuhan jasmani); yakni upaya memenuhi tuntutan tersebut berdasarkan kaidah yang diimani dan diyakininya. Jika pemenuhan naluri dan kebutuhan jasmani tersebut dilaksanakan dengan sempurna berdasarkan akidah Islam, maka nafsiyah-nya dinamakan nafsiyah Islamiyah. Jika pemenuhan tersebut tidak dilakukan dengan cara seperti itu, berarti nafsiyahnya merupakan nafsiyah yang lain. 
Jika kaidah --yang digunakan-- untuk ‘aqliyah dan nafsiyah seseorang jenisnya sama, siapa pun dia, maka kepribadian (syakhshiyah-nya) pasti merupakan syakhshiyah yang khas dan
unik. Ketika seseorang menjadikan akidah Islam sebagai asas bagi ‘aqliyah dan nafsiyah-nya, maka syakhshiyah-nya merupakan syakhshiyah Islamiyah. Namun, jika tidak demikian, berarti syakhshiyah-nya adalah syakhshiyah yang lain. Karena itu (untuk membentuk syakhshiyah Islamiyah), tidak cukup hanya dengan ‘aqliyah Islamiyah, di mana pemiliknya bisa mengeluarkan keputusan hukum tentang benda dan perbuatansesuai hukum-hukum syara’, sehingga dia mampu menggali hukum, mengetahui halal dan haram; dia juga memiliki kesadaran
dan pemikiran yang matang, mampu menyatakan ungkapan yang kuat dan tepat, serta mampu menganilisis berbagai peristiwa dengan benar. Semuanya itu belum cukup, kecuali setelah nafsiyahnya juga menjadi nafsiyah Islamiyah, sehingga bisa memenuhi tuntutan gharizah dan hajat al-’adhawiyah-nya dengan landasan Islam. Dia akan mengerjakan shalat, puasa, zakat, haji, serta melaksanakan yang halal dan menjauhi yang haram. Dia berada dalam posisi yang memang disukai Allah, dan mendekatkan diri kepada-Nya, melalui apa saja yang telah difardhukan kepadanya, serta berkeinginan kuat untuk mengerjakan berbagai nafilah, hingga dia makin bertambah dekat dengan Allah Swt. Dia akan menyikapi berbagai kejadian dengan sikap yang benar dan tulus, memerintahkan yang makruf, dan mencegah yang munkar. Juga mencintai dan membenci karena Allah, dan senantiasa bergaul dengan sesama manusia dengan akhlak yang baik. Demikian juga tidak cukup jika nafsiyah-nya merupakan nafsiyah Islamiyah, sementara ‘aqliyah-nya tidak. Akibatnya, bias jadi beribadah kepada Allah dengan kebodohan, yang justru menyebabkan pelakunya akan tersesat dari jalan yang lurus.
Misalnya, berpuasa pada hari yang diharamkan; shalat pada waktu yang dimakruhkan, dan bersikap lemah terhadap orang yang melakukan kemunkaran, bukannya mengingkari dan
mencegahnya. Bisa jadi dia akan bermuamalah dan bersedekah dengan riba, dengan anggapan, bisa mendekatkan diri kepada Allah, justru pada saat di mana sebenarnya dia telah tenggelam
dalam kubangan dosanya. Dengan kata lain, dia telah melakukan kesalahan tapi menyangka telah melakukan kebajikan. Akibatnya, dia memenuhi tuntutan gharizah dan hajat al-’udhawiyah tidak
sesuai dengan perintah Allah Swt. dan Rasul-Nya saw. Sesungguhnya syakhshiyah Islamiyah ini tidak akan berjalan dengan lurus, kecuali jika ‘aqliyah orang tersebut adalah ‘aqliyah
Islamiyah, yang mengetahui hukum-hukum yang memang dibutuhkannya, dengan senantiasa menambah ilmu-ilmu syariah sesuai dengan kemampuannya. Pada saat yang sama, nafsiyahnya
juga merupakan nafsiyah Islamiyah, sehingga dia akan melaksanakan hukum-hukum syara’, bukan sekadar untuk diketahui, tetapi untuk diterapkan dalam segala urusannya, baik
dengan Penciptanya, dengan dirinya sendiri, maupun dengan sesamanya, sesuai dengan cara yang memang disukai dan diridhai oleh Allah Swt.
Jika ‘aqliyah dan nafsiyah-nya telah terikat dengan Islam, berarti dia telah menjelma menjadi syakhshiyah Islamiyah, yangakan melapangkan jalannya menuju kebaikan di tengah-tengah berbagai kesulitan, dan dia pun tidak pernah takut terhadap celaanorang yang mencela, semata-mata karena Allah.



         Pola Pikir (Paradigma) dari sudut pandang ilmiah (atau ilmu revolusioner) adalah, menurut Thomas Kuhn dalam bukunya yang berpengaruh The Structure of Scientific Revolutions (1962), perubahan dalam asumsi dasar, atau paradigma, dalam teori ilmu pengetahuan yang berkuasa. Hal ini berbeda dengan idenya ilmu pengetahuan normal.

          Menurut Kuhn, "adalah paradigma apa yang anggota komunitas ilmiah, dan mereka sendiri, berbagi." (Tegangan Esensial, 1977). Tidak seperti seorang ilmuwan yang normal, Kuhn diadakan, "seorang mahasiswa di humaniora telah terus-menerus sebelum dia sejumlah solusi bersaing dan dapat dibandingkan untuk masalah ini, solusi yang dia akhirnya harus memeriksa untuk dirinya sendiri." (The Structure of Scientific Revolutions). Setelah pergeseran paradigma selesai, seorang ilmuwan tidak dapat, misalnya, menolak teori kuman penyakit ke mengandaikan kemungkinan bahwa racun penyebab penyakit atau menolak fisika modern dan optik untuk mengandaikan bahwa ether membawa cahaya. Sebaliknya, seorang kritikus dalam Humaniora dapat memilih untuk mengadopsi berbagai sikap (misalnya, kritik Marxis, kritik Freudian, Dekonstruksi, abad ke-19 gaya kritik sastra), yang mungkin lebih atau kurang modis selama periode tertentu tetapi yang semua dianggap sebagai sah.

         Sejak 1960-an, istilah juga telah digunakan dalam berbagai konteks non-ilmiah untuk menggambarkan perubahan besar dalam suatu model dasar atau persepsi peristiwa, meskipun Kuhn sendiri membatasi penggunaan istilah untuk ilmu-ilmu keras. Bandingkan sebagai bentuk terstruktur Zeitgeist.
Sains dan pergeseran paradigma. Sebuah tafsir umum dari paradigma adalah keyakinan bahwa penemuan pergeseran paradigma dan sifat dinamis ilmu pengetahuan (dengan banyak kesempatan untuk penilaian subjektif oleh para ilmuwan) adalah kasus untuk relativisme: [2] pandangan bahwa semua jenis sistem kepercayaan yang sama . Kuhn menolak keras interpretasi dan menyatakan bahwa ketika sebuah paradigma ilmiah diganti dengan yang baru, walaupun melalui proses sosial yang kompleks, yang baru selalu lebih baik, tidak hanya berbeda.

Klaim-klaim relativisme, bagaimanapun, terkait dengan yang lain mengklaim bahwa Kuhn tidak setidaknya agak mendukung: bahwa teori-teori bahasa dan paradigma yang berbeda tidak dapat diterjemahkan ke dalam satu sama lain atau rasional dievaluasi terhadap satu sama lain - bahwa mereka tidak dapat dibandingkan. Hal ini melahirkan banyak pembicaraan masyarakat dan budaya yang berbeda memiliki pandangan dunia secara radikal berbeda atau skema konseptual - begitu berbeda bahwa apakah atau tidak seorang pun lebih baik, mereka tidak bisa dimengerti oleh satu sama lain. Namun, filsuf Donald Davidson menerbitkan sebuah esai yang sangat dihormati pada tahun 1974, "Pada Ide Sangat dari sebuah Skema Konseptual," dengan alasan bahwa gagasan bahwa setiap bahasa atau teori bisa dapat dibandingkan dengan satu sama lain itu sendiri tidak
koheren. Jika ini benar, klaim Kuhn harus diambil dalam arti lebih lemah dari mereka sering. Selanjutnya, analisis memegang Kuhnian pada ilmu sosial telah lama renggang dengan aplikasi luas multi-paradigmatik pendekatan untuk memahami perilaku manusia yang kompleks (lihat misalnya Yohanes Hassard, Sosiologi dan Teori Organisasi. Positivisme, Paradigma dan Postmodernitas. Cambridge University Press 1993..)              
                      Pergeseran paradigma cenderung menjadi yang paling dramatis dalam ilmu-ilmu yang tampaknya stabil dan matang, seperti dalam fisika di akhir abad ke-19. Pada saat itu, fisika tampaknya disiplin mengisi beberapa rincian terakhir dari sebuah sistem yang sebagian besar bekerja-keluar. Pada tahun 1900, Lord Kelvin terkenal menyatakan, "Tidak ada yang baru harus ditemukan dalam fisika sekarang Semua yang tersisa adalah pengukuran yang lebih dan lebih tepat.." Lima tahun kemudian, Albert Einstein menerbitkan kertas pada relativitas khusus, yang menantang set sangat sederhana aturan yang ditetapkan oleh mekanika Newton, yang telah digunakan untuk menggambarkan gaya dan gerak selama lebih dari dua ratus tahun.
                      Dalam Struktur Scientific Revolutions, Kuhn menulis, "transisi dari satu paradigma Berturutan ke yang lain melalui revolusi adalah pola perkembangan yang biasa ilmu pengetahuan dewasa." (Hal. 12) gagasan Kuhn itu sendiri revolusioner dalam waktu, karena menyebabkan perubahan besar dalam cara yang akademisi berbicara tentang ilmu pengetahuan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa itu disebabkan atau itu sendiri bagian dari "pergeseran paradigma" dalam sejarah dan sosiologi ilmu pengetahuan. Namun, Kuhn tidak akan mengenali seperti pergeseran paradigma. Berada di ilmu sosial, orang masih bisa menggunakan ide-ide sebelumnya untuk membahas sejarah ilmu pengetahuan.          
                Filsuf dan sejarawan ilmu pengetahuan, termasuk Kuhn sendiri, akhirnya diterima versi modifikasi dari model Kuhn, yang mensintesis tampilan asli dengan model gradualis yang mendahuluinya. Model asli Kuhn sekarang umumnya dipandang sebagai terlalu terbatas.
Perubahan Paradigma sebagai perubahan dari satu cara berpikir yang lain. Ini sebuah revolusi, suatu transformasi, semacam metamorfosis. Hanya saja tidak terjadi, tapi lebih didorong oleh agen perubahan.

Sebagai contoh, pertanian mengubah masyarakat primitif awal. Indian primitif ada selama berabad-abad jelajah bumi terus berburu dan mengumpulkan makanan musiman dan air. Namun, pada tahun 2000 SM, Amerika Tengah adalah pemandangan desa yang sangat kecil, masing-masing dikelilingi oleh ladang jagung merata dan sayuran lainnya.

Agen perubahan membantu menciptakan pergeseran paradigma-teori ilmiah yang bergerak dari sistem Ptolemeus (bumi di pusat alam semesta) ke sistem Copernican (matahari di pusat alam semesta), dan bergerak dari fisika Newton ke Relativitas dan Quantum Fisika. Kedua gerakan akhirnya mengubah pandangan dunia. Transformasi-transformasi ini adalah bertahap sebagai keyakinan lama digantikan oleh paradigma baru menciptakan "suatu gestalt baru" (hal. 112).

Demikian juga, mesin cetak, pembuatan buku dan penggunaan bahasa vernakular tak terelakkan mengubah budaya suatu bangsa dan memiliki mempengaruhi langsung terhadap revolusi ilmiah. Penemuan Johann Gutenberg di 1440 dari movable type adalah agen perubahan. Buku menjadi tersedia, lebih kecil dan lebih mudah untuk menangani dan murah untuk membeli. Massa rakyat memperoleh akses langsung ke scriputures. Sikap mulai berubah ketika orang merasa lega dari dominasi gereja.

Demikian pula, agen perubahan mengemudi pergeseran paradigma baru hari ini. Tanda-tanda ada di sekitar kita. Sebagai contoh, pengenalan komputer pribadi dan internet berdampak baik pribadi dan lingkungan bisnis, dan merupakan katalis bagi Pergeseran Paradigma. Penerbitan surat kabar telah dibentuk kembali ke situs web, blogging, dan web feed. Internet telah diaktifkan atau mempercepat penciptaan bentuk-bentuk baru interaksi manusia melalui instant messaging, Internet forum, dan situs jejaring sosial. Kami adalah bergeser dari mekanistik, manufaktur, masyarakat industri ke, layanan berbasis organik, masyarakat informasi terpusat, dan peningkatan teknologi akan terus berdampak global. Perubahan tidak bisa dihindari. Ini adalah konstan hanya benar.

Kesimpulannya, selama jutaan tahun kami telah berkembang dan akan terus melakukannya. Perubahan adalah sulit. Manusia menolak perubahan, namun, proses yang telah ditetapkan dalam gerak yang panjang lalu dan kami akan terus bersama-sama menciptakan pengalaman kita sendiri. Kuhn menyatakan bahwa "kesadaran adalah prasyarat untuk diterima semua perubahan teori" (hal. 67). Ini semua dimulai dalam pikiran orang tersebut. Yang kita lihat, apakah normal atau metanormal, sadar atau tidak sadar, tunduk pada keterbatasan dan distorsi yang dihasilkan oleh alam dan sosial kita mewarisi bersyarat. Namun, kita tidak dibatasi oleh ini untuk kita bisa berubah. Kami bergerak pada tingkat percepatan kecepatan dan negara kita adalah mengubah kesadaran dan melampaui. Banyak kebangkitan sebagai kesadaran kita mengembang.
Sumber : http://www.taketheleap.com/define.html

Perubahan  Paradigma adalah ketika perubahan yang signifikan terjadi - biasanya dari satu tampilan mendasar untuk pandangan yang berbeda. Dalam kebanyakan kasus, beberapa jenis diskontinuitas besar terjadi juga.
Thomas Kuhn menulis tentang Pergeseran Paradigma selama awal 1960-an, dan menjelaskan bagaimana "serangkaian selingan damai diselingi oleh intelektual revolusi kekerasan" menyebabkan "salah satu pandangan dunia konseptual untuk digantikan oleh pandangan lain
Dalam istilah awam, Pergeseran Paradigma adalah pergeseran, atau mungkin, populer tidak begitu populer atau transformasi dari cara kita memandang Manusia peristiwa, orang, lingkungan, dan kehidupan sama sekali. Hal ini dapat pergeseran nasional atau internasional, dan bisa memiliki efek yang dramatis - baik positif atau negatif - pada cara kita menjalani hidup kita hari ini dan di masa depan.

Perubahan paradigm : Sebuah Ringkasan

Dalam masyarakat hari ini, kita semua menyaksikan perubahan besar sudah. Ketika kita melihat kembali pada "tandingan" (informasi lebih lanjut di sini: beda), kita menelusuri beberapa sumber dengan definisi dari "Pergeseran Paradigma."

Selama era tandingan (1960-1970-an), generasi muda menentang otoritas dan sangat bertentangan dengan sistem kepercayaan yang diterima masyarakat dan standar hidup. Dalam gerakan tandingan (dipicu oleh Perang Vietnam), konservatif sosial dianggap "repressionists sosial."

Perubahan paradigma mencerahkan meledak menjadi ide-ide inovatif tentang agama, masyarakat dan spiritualitas, meskipun ideologi Barat tradisional.

Dalam masyarakat hari ini, kita melihat pergeseran ke arah pandangan yang lebih buta-oppresionistic; berkembang biak oleh sensor. Para juxtapositions ironis antara Pergeseran Paradigma hampir setengah abad yang lalu dan pemuda hari masyarakat adalah penyataan mengerikan.

Pemuda oposisi terhadap otoritas tidak mungkin selalu dalam kepentingan terbaik manusia, namun, itu adalah pergeseran Paradigma yang menyebabkan perubahan revolutional yang meningkatkan ketegangan rasial dan hubungan, membuka jalur komunikasi ke negara-negara luar, dan mengakhiri Perang Vietnam.

Hasil akhirnya mencakup berbagai derajat transformasi negatif dan positif yang memungkinkan orang untuk membuka hati dan pikiran mereka untuk keragaman multikultural, dan dipromosikan kebebasan dan kebebasan - pada sisi lain dari pergeseran, ada peningkatan pergaulan, tingkat perceraian yang lebih tinggi, penggunaan obat yang lebih tinggi , dan memaksakan pandangan sosialistis dan aplikasi sistem kesejahteraan.

* Paradigm Shift saat ini

Sebagai pengganti akhir-akhir ini, namun, Paradigma Shift telah berkembang. Apakah Anda pernah memperhatikan? Pemuda - hari ini, yang tampaknya di bawah mantra hipnotis sensor terlihat. Apa itu "penyensoran terlihat?" Stasiun berita lokal sering melaporkan setengah-kebenaran, atau bias berita dalam kaitannya dengan peristiwa nasional dan internasional, termasuk: lingkungan, laporan global, dan politik. Banyak sistem pendidikan tradisional yang memaksakan pandangan politik pribadi pada siswa, dan memasukkan keyakinan dan sikap dalam rencana instruksional. Sensor tak terlihat lainnya, adalah kenyataan bahwa banyak acara disikat bawah karpet dan tidak diberi liputan media yang memadai sebagai lawan propaganda gaya berita.

Jadi, pada dasarnya, apakah Pergeseran Paradigma menerjemahkan untuk berkenaan dengan kehidupan manusia dan kebiasaan lingkungan? Apa yang bisa menjadi hasil yang mungkin metamorfosis dinamis dan intervensi seperti itu?

Perubahan paradigma banyak berdampak terhadap beberapa bidang diantaranya :

·        Dibidang  kesehatan.

Pada kesempatan peringatan Hari Kesehatan Nasional kali ini, ada baiknya kita menelaah kembali persoalan paradigma pembangunan kesehatan yang selama ini dijalankan oleh pemerintah dalam membangun kesehatan penduduknya. Mengapa hal itu menjadi penting dibicarakan ? Tulisan ini akan mengurai tentang hal tersebut.

Pentingnya sebuah paradigma (Dalam makna yang lebih populer dapat diartikan menjadi “visi kita terhadap realitas”) dalam proses pembangunan kesehatan, dikemukakan oleh AL Slamet Riyadi (1984) dalam bukunya “Sistem Kesehatan Nasional; Dalam Tinjauan Ilmu Kesehatan Masyarakat“ menyebutkan ‘sebuah sistem dalam proses pembangunan, tidak akan berjalan mulus apabila tidak ada pendekatan filosofis atau paradigma yang memayunginya’. Sementara Thomas Kuhn dalam bukunya “The Structure of Scientific Revolutions”, menyatakan bahwa hampir pada setiap terobosan baru perlu didahului dengan perubahan paradigma untuk memecahkan atau merubah kebiasaan dan cara berpikir lama. Dengan kata lain ‘suatu sistem tanpa paradigma ibaratnya, setumpuk kertas tanpa makna’.

Menkes saat itu (FA Moeloek), saat rapat kerja dengan komisi VI DPR RI, Selasa tanggal 15 September 1998, Depkes RI memperkenalkan paradigma baru dalam pembangunan kesehatan yaitu Paradigma Sehat (Kompas,16/9/98). Sebelumnya, pemerintah memakai paradigma sakit. Paradigma sakit adalah cara pandang dalam upaya kesehatan yang mengutamakan upaya kuratif dan rehabilitatif. Penanganan kesehatan penduduk menekankan pada penyelenggaraan pelayanan di rumah sakit, penanganan penduduk yang sakit secara individu dan spesialistis. Hal ini menjadikan kesehatan sebagai suatu yang konsumtif. Sehingga menempatkan sektor kesehatan dalam arus pinggir (sidestream) pembangunan (Does Sampoerna, 1998).

Munculnya Paradigma Sehat, menunjukan upaya pemerintah melakukan reorientasi pembangunan kesehatan. Penanganan kesehatan penduduk dititikberatkan pada pembinaan kesehatan bangsa (shaping the health nations) dan bukan sekedar penyembuhan penyakit, namun termasuk pencegahan penyakit, perlindungan keselamatan, dan promosi kesehatan. Hal itu menyadarkan kepada kita bahwa membina kesehatan bangsa atau menciptakan bangsa yang sehat, cerdas, trampil, tidak bisa dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan an sich.

Namun hingga saat ini, perubahan paradigma (paradigm shift) masih sangat kecil (bila tidak ingin disebut tidak ada), salah satu penyebabnya karena masih kuatnya dominasi kelompok status quo, yang sulit melakukan perubahan dalam pembangunan kesehatan.

Seiring dengan waktu, diskursus (discourse) tentang arah paradigma pembangunan kesehatan bergulir dengan cepat. Paradigma sehat yang dianut pemerintah, dipandang sebagai suatu yang terlambat alias ‘usang’, karena adagium “Pencegahan lebih baik daripada mengobati” sudah lama kita dengar semenjak jaman nenek moyang kita. Toh, baru pada tanggal 16 September 1998, adagium ‘tradisional’ itu diterima sebagai suatu kebijakan resmi pemerintah.

Kritik terhadap paradigma sehat adalah paradigma sehat terkesan memisahkan aspek kuratif dan preventif, padahal dalam upaya kesehatan yang diperlukan adalah keterpaduan dan keseimbangan diantara semua aspek, bukannya saling mendominasi dan meniadakan. Mengobati penderita TBC sama pentingnya dengan dengna penyuluhan pencegahan TBC, karena penderita TBC adalah resiko bagi yang sehat.

Dewasa ini muncul pemikiran paradigma baru di dalam pembangunan kesehatan. Pemikiran baru itu dilandasi argumentasi bahwa pembangunan kesehatan haruslah sesuai dengan realitas politik dalam kehidupan bernegara kita. Dimana semenjak bola reformasi digulirkan, terdapat dua isu sentral yaitu ‘Demokratisasi dan Penegakan HAM’, yang harus direspon oleh kalangan kesehatan.

Kedua isu sentral itu, menimbulkan pemikiran baru dalam pembangunan kesehatan bahwa kesehatan harus dilihat dari 2 aspek tersebut. Bila dikaitkan, maka paradigma pembangunan kesehatan yang lebih tepat dan mendasar adalah “Kesehatan adalah bagian dari HAM” dan “Kesehatan adalah sebuah Investasi”.

Kesehatan adalah bagian dari HAM merupakan cerminan proses penegakan HAM. Konstitusi WHO 1948 telah menyebutkan ‘Memperoleh derajat kesehatan yang optimal adalah hak yang fundamental bagi setiap manusia, tanpa membedakan ras, agama, keyakinan politik, status sosial, dan ekonomi’. Bahkan dalam UUD 45 pasal 28H ayat 1 secara eksplisit menyatakan bahwa kesehatan adalah hak setiap warga negara. Untuk itu persoalan yang menyangkut kesehatan penduduk harus dibumikan dalam bentuk kebujakan dan program yang mendukung paradigma ini.

Selama ini, Indonesia gagal dalam memenuhi hak atas kesehatan penduduknya. Bisa dilihat dari indikator kesehatan Angka Kematian Ibu (AKI) sebesar 390 per 100.000 kelahiran dan Angka Kematian Bayi (AKB) sebesar 41 per 1000 kelahiran, merupakan angka terburuk di ASEAN. Nilai Human Development Index (HDI), yang merupakan komposit dari sisi ekonomi, kesehatan dan pendidikan menduduki urutan 109 dari 170 negara, menunjukkan kualitas SDM negara kita masih payah.

Masih banyaknya penyakit infeksi dan menular, menyebabkan beban ganda (double burden) yang ditanggung semakin berat, karena penyakit degeneratif dan life style tergolong tinggi. Fakta lain ditunjukkan oleh Revrisond Baswir dkk (1999), dalam bukunya “Pembangunan Tanpa Perasaan” menyebutkan pelayanan kesehatan kita belum menjangkau seluruh lapisan masyarakat alias tidak merata, diperparah lagi subsidi sektor kesehatan malah dinikmati kalangan ‘berpunya’.

Ironisnya, masyarakat, media massa, politikus bahkan insan kesehatan masih memandang hak kesehatan hanya sebatas pada hak untuk memperoleh pelayanan kuratif di rumah sakita dan puskesmas. Padahal, hak untuk menikmati hidup sehat jauh lebih luas daripada sekedar hak akan pelayanan kuratif. Salah satunya jaminan dari negara bahwa segala akses informasi tentang kesehatan dan ketersediaannya harus tersedia bagi segala lapisan masyarakat.

Kesehatan sebagai Sebuah Investasi merupakan cerminan dari pentingnya SDM yang produktif. Dibeberapa negara maju yang menggunakan konsep sehat produktif, sehat adalah sarana atau alat untuk hidup sehari-hari secara produktif. Upaya kesehatan harus diarahkan untuk dapat membawa setiap penduduk memiliki kesehatan yang cukup agar bisa hidup produktif.

Selama ini, pemerintah masih memandang sektor kesehatan sebagai sektor konsumtif, kesehatan tidak dilihat sebagai investasi, tetapi hanya dilihat sebagai sektor kesejahteraan yang dinilai menjadi beban biaya. Bukti nyatanya adalah alokasi belanja kesehatan pemerintah yang sangat rendah, hanya sekitar 2-3% dari total belanja negara. Namun ironisnya, pelayanan kesehatan malah menjadi sumber pendapatan pembangunan.

Disini membuktikan pemerintah menerapkan standar ganda dalam bidang kesehatan. Disatu sisi, belanja kesehatan dianggap beban dan tidak diprioritaskan. Disisi lain, pelayanan kesehatan dijadikan sumber pendapatan. Artinya pembangunan negara ini disokong dari uang rakyat yang sakit. Sehingga masuk akal bila ada orang usil mengatakan “Bila pemerintah ingin mendapat sumber pendapatan yang besar, sebar saja kuman atau virus kepada masyarakat, agar masyarakat menjadi sakit dan kemudian mereka berobat ke rumah sakit pemerintah”

Padahal dengan rendahnya alokasi belanja kesehatan akan menghasilkan indikator kesehatan yang rendah. Jika dibandingkan dengan negara ASEAN, Indonesia terendah dalam belanja kesehatan. Dalam laporan WHO tahun 1999, Indonesia hanya mengeluarkan 1,8% dari produk domestik brutonya (PDB) untuk belanja kesehatan. Sementara negara ASEAN lain yang memiliki PDB per kapita lebih tinggi mengeluarkan porsi lebih besar untuk kesehatan. Maka tidak mengherankan bila indikator kesehatan Indonesia, terendah diantara negara ASEAN, karena kita menanam modal lebih kecil, maka kita mendapat hasil yang sedikit.

Menurut Thabrany (1999), terdapat korelasi negatif antara status kesehatan dengan pendapatan per kapita di kemudian hari, jika faktor lain konstan. Negara-negara yang di awal tahun 70-an memiliki AKB tinggi, tidak memiliki pendapatan perkapita tinggi ditahun 1991 dan sebaliknya. Artinya, teori tentang tingkat kesehatan yang tinggi akan meningkatkan produktifitas mempunyai bukti yang kuat .

Kondisi diatas menunjukkan, kesehatan sebagai salah satu unsur utama SDM dan sebagai modal tahan lama (durable capital) sama sekali belum dinilai penting oleh para pembuat keputusan. Padahal adagium di lingkungan Internasional yang menyebutkan “Health is not everything, but without health, everything is nothing” merupakan cerminan dari urgensitas kesehatan dalam suatu pengembangan masyarakat dan pembangunan secara nasional.

Pada masa otonomi daerah ini, dimana salah satu bidang yang dilimpahkan pada daerah adalah bidang kesehatan. Maka selayaknya pemerintah daerah dan DPRD benar-benar memahami paradigma baru pembangunan kesehatan ini. Bila mereka memahami paradigma baru pembangunan kesehatan tersebut, mau tidak mau mereka akan menempatkan kesehatan sebagai salah satu modal dasar bagi pengembangan kualitas SDM. Dan menempatkan bidang kesehatan sebagai pilar pembangunan daerah. Bila tidak, pemerintah akan dituduh melakukan pelanggaran HAM dan state neglect (penelantaran negara) terhadap warganya. Sumber : http://puageno.multiply.com/journal/item/15

·         Perubahan Paradigma di bidang pendidikan
Seiring dengan perubahan dan dinamika masyarakat yang terus bergerak menuju arus globalisasi, problem dan tantangan yang harus dihadapi oleh dunia persekolahan kita makin rumit dan kompleks. Sekolah tidak hanya dituntut untuk mampu melahirkan generasi-generasi yang cerdas secara intelektual, tetapi juga diharapkan dapat menciptakan generasi bangsa yang cerdas secara emosional dan spiritual.
Dengan kata lain, sekolah dituntut untuk mampu melahirkan generasi yang “utuh” dan “paripurna”. Namun, melahirkan generasi yang “utuh” dan “paripurna” semacam itu bukanlah pekerjaan yang mudah. Dibutuhkan “kemauan politik” para pengambil kebijakan untuk menjadikan dunia pendidikan sebagai “panglima” peradaban, sehingga negeri ini mampu menjadi bangsa yang terhormat dan bermartabat dalam percaturan dunia internasional pada era global. “Kemauan politik” tersebut harus diimbangi dengan semangat dan motivasi segenap komponen dan stakeholder pendidikan, sehingga tidak hanya sekadar menjadi slogan dan retorika belaka.
Era reformasi yang bergulir sejak tahun 1998 diakui telah melahirkan kebebasan dan keterbukaan di segenap aspek dan ranah kehidupan. Urusan pendidikan yang semula berada dalam genggaman tangan pemerintah pusat, kini mulai dikonsentrasikan ke daerah-daerah melalui kebijakan otonomi daerah yang dianggap lebih aspiratif dan akomodatif terhadap keberagaman dan tuntutan daerah. Namun, era reformasi tidak akan memberikan imbas positif terhadap mutu pendidikan apabila tidak diikuti dengan perubahan paradigma, sikap mental, dan kultur para pengambil kebijakan dan pelaksana pendidikan di tingkat praksis.
Diakui atau tidak, selama bertahun-tahun dunia pendidikan kita terpasung di persimpangan jalan, tersisih di antara hiruk-pikuk dan ingar-bingar ambisi penguasa yang ingin mengejar pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa. Pendidikan tidak diarahkan untuk memanusiakan manusia secara “utuh” dan “paripurna”, tetapi lebih diorientasikan pada hal-hal yang bersifat materialistis, ekonomis, dan teknokratis, kering dari sentuhan nilai-nilai moral, kemanusiaan, dan budi pekerti. Pendidikan lebih mementingkan kecerdasan intelektual, akal, dan penalaran, tanpa diimbangi dengan intensifnya pengembangan kecerdasan hati, perasaan, emosi, dan spiritual. Akibatnya, apresiasi out-put pendidikan terhadap keagungan nilai humanistik, keluhuran budi, dan budi nurani, menjadi nihil. Mereka dianggap menjadi “robot-robot” zaman yang telah kehilangan hati nurani dan perasaan, cenderung bar-bar, vandalistik, dan mau menang sendiri.
Ajang Indoktrinasi
Dengan nada sinis, Andrias Harefa (2000) mengemukakan bahwa sekolah telah dipisahkan dari soal-soal nyata sehari-hari. Ia telah berubah menjadi semacam “sekolah militer”, ajang indoktrinasi, dan “kaderisasi” manusia-manusia muda yang harus belajar untuk “patuh” sepenuhnya kepada “sang komandan”. Tak ada ruang yang cukup untuk bereksperimentasi, mengembangkan kreativitas, dan belajar menggugat kemapanan status quo yang membelenggu dan menjajah jiwa anak-anak muda. Tak ada upaya yang dapat dianggap sebagai upaya “membangun jiwa bangsa”.
Selama mengikuti proses pembelajaran di sekolah, peserta didik (nyaris) tidak pernah bersentuhan dengan pendidikan nilai yang berorientasi pada pembentukan watak dan kepribadian. Mereka diperlakukan bagaikan “tong sampah” ilmu pengetahuan yang harus menerima apa saja yang dijejalkan dan disuapkan oleh para guru.
Hal itu diperparah dengan munculnya kebijakan pemerintah masa lalu yang cenderung sentralistis dan otoriter, sehingga memberangus dan mengebiri fungsi sekolah sebagai pusat pendidikan nilai religi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan, moral, kemanusiaan, dan semacamnya. Segala macam bentuk praktik pendidikan telah dipola dan diseragamkan dari pusat, sehingga sekolah tidak memiliki peluang untuk menumbuhkembangkan potensi genius-local.
Yang lebih memprihatinkan, pendidikan dinilai hanya dijadikan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan melalui berbagai polarisasi, indoktrinasi, sentralisasi, dan regulasi yang tidak memihak rakyat. Keluaran pendidikan tidak digembleng untuk mengabdi kepada rakyat, tetapi telah dipola dan dibentuk untuk mengabdi kepada kepentingan kekuasaan an-sich.
Dalam konteks demikian, pendidikan kita setidaknya telah melahirkan manusia-manusia berkarakter oportunis, hipokrit, hedonis, dan besar kepala, tanpa memiliki kecerdasan emosional dan spiritual yang memadai. Makna pendidikan substansial, yaitu memberikan ruang kesadaran kepada peserta didik untuk mengembangkan jatidirinya secara “utuh” dan “paripurna” melalui sebuah proses yang dialogis, interaktif, efektif, menarik, dan menyenangkan, nyaris tak pernah bergaung dalam dunia pendidikan kita. Dari tahun ke tahun, atmosfer pembelajaran di sekolah tak lebih “memenjarakan” peserta didik untuk bersikap serba patuh, pendiam, miskin inisiatif dan kreativitas.
Mengapa atmosfer pembelajaran dalam dunia persekolahan kita terpasung dalam situasi monoton, kaku, dan membosankan, sehingga gagal melahirkan generasi bangsa yang cerdas, terampil, dan bermoral seperti yang didambakan oleh masyarakat? Paling tidak ada dua argumen yang dapat dikemukakan.
Pertama, diterapkannya sistem single-track yang “membutakan” peserta didik dari persoalan-persoalan riil yang dihadapi masyarakat dan bangsanya, sehingga tidak memiliki sikap kritis dan responsif terhadap persoalan-persoalan hidup.
Kedua, para pengambil kebijakan menjadikan dunia pendidikan -meminjam istilah Zamroni (2000)- sebagai engine of growth; penggerak dan loko pembangunan. Agar proses pendidikan efisien dan efektif, pendidikan harus disusun dalam struktur yang bersifat rigid, manajemen bersifat sentralistis, kurikulum penuh dengan pengetahuan dan teori-teori. Namun, disadari atau tidak, kebijakan semacam itu justru membikin dunia pendidikan menjadi penghambat pembangunan ekonomi dan teknologi dengan munculnya berbagai kesenjangan kultural, sosial, dan kesenjangan vokasional yang ditandai dengan melimpahnya pengangguran terdidik.
Karena makin rumit dan kompleksnya persoalan yang dihadapi oleh dunia pendidikan, dibutuhkan paradigma pendidikan masa depan yang dinilai lebih mampu menjawab tantangan zaman, yaitu paradigma pendidikan sistemik-organik yang menekankan bahwa segala objek, peristiwa, dan pengalaman merupakan bagian-bagian yang tidak terpisahkan dari suatu keseluruhan yang utuh.
Paradigma pendidikan sistemik-organik menekankan bahwa proses pendidikan formal, sistem persekolahan, harus memiliki ciri-ciri: (1) pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) daripada mengajar (teaching); (2) pendidikan diorganisir dalam struktur yang fleksibel; (3) pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakter khusus dan mandiri; dan (4) pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan (Zamroni, 2000).
Paradigma pendidikan sistemik-organik menuntut pendidikan bersifat double-tracks, yaitu pendidikan sebagai proses yang tidak bisa dilepaskan dari perkembangan dan dinamika masyarakatnya. Dunia pendidikan senantiasa mengaitkan proses pendidikan dengan masyarakat pada umumnya dan dunia kerja pada khususnya. Dengan sistem semacam ini, dunia pendidikan kita diharapkan mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan dan fleksibilitas tinggi untuk menyesuaikan dengan tuntutan zaman yang senantiasa berubah dengan cepat.
Agen Perubahan
Dalam upaya mengimplementasikan paradigma pendidikan masa depan, peran guru sebagai pilar utama peningkatan mutu pendidikan jelas tidak boleh dipandang sebelah mata. Sudah saatnya guru diberi kebebasan dan keleluasaan untuk mengelola proses pembelajaran secara kreatif, “liar”, dan mencerdaskan, sehingga pembelajaran berlangsung efektif, menarik, dan menyenangkan. Sudah bukan saatnya lagi guru dipajang dalam “rumah kaca” yang selalu diawasi gerak-geriknya, sehingga guru yang dianggap “tampil beda” dalam mengelola proses pembelajaran “kena semprit” dan dihambat kariernya.
Dalam Undang-undang Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas (pasal 40 ayat 2) jelas dinyatakan bahwa pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban: (1) menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis; (2) mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan; dan (3) memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Ini artinya, guru tidak lagi berperan sebagai “piranti negara” yang semata-mata mengabdi untuk kepentingan penguasa, tetapi sebagai “hamba kemanusiaan” yang mengabdikan diri untuk “memanusiakan” generasi bangsa secara “utuh” dan “paripurna” (cerdas secara intelektual, emosional, dan spiritual) sesuai dengan tuntutan zaman.
Dalam konteks demikian, guru harus benar-benar menjadi “agen perubahan” dan menjadi sosok profesional yang senantiasa bersikap responsif dan kritis terhadap berbagai perkembangan dan dinamika peradaban yang terus berlangsung di sekitarnya. Guru – bersama stakeholder pendidikan yang lain – harus selalu menjadikan sekolah bagaikan “magnet” yang mampu mengundang daya pikat anak-anak bangsa untuk berinteraksi, berdialog, dan bercurah pikir dalam suasana lingkungan pembelajaran yang menarik dan menyenangkan. Dengan cara demikian, tidak akan terjadi proses deschooling society di mana sekolah mulai dijauhi oleh masyarakat akibat ketidakberdayaan pengelola sekolah dalam menciptakan institusi pembelajaran yang “murah-meriah” di tengah merebaknya gaya hidup hedonistik, konsumtif, materialistik, dan kapitalistik.
Persoalannya sekarang, siapkah sekolah bersama para “penghuni”-nya menghadapi perubahan paradigma pendidikan, “bermetamorfosis” menjadi sebuah institusi yang responsif terhadap tuntutan zaman? Kita tunggu saja!
 Sumber : http://sawali.info/2008/01/04/perubahan-paradigma-pendidikan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar