Selasa, 12 Juni 2012

Annisa yang Kami Cinta


Ayah, Ibu, Aku, dan Annisa. Kami satu keluarga yang tinggal di sebuah rumah yang tak begitu besar dan sederhana namun nyaman untuk ditinggali. Kakek kami telah wafat dua tahun lalu, dan nenek pun telah wafat satu tahun lalu. Dahulu kami tinggal bersam di rumah yang sederhana ini, kami saling mencintai dan mengasihi. Kakek dan nenek adalah ornga tua dari Ibuku, sedangkan orang tua dari ayahku mereka tinggal di desa sebelah yang jarknyanya 10 km dari rumahku, Mereka pun telah  wafat.
Ayahku bernama Mahmuddin, ia keturan suku Betawi sedangakan Ibuku Aisyah keturan suku Sunda. Mereka telah menikah hampir dua puluh lima tahun, dengan dikaruniai dua orang anak yaitu Aku dan Annisa. Aku Muhammad Ustman bin Mahmuddin, tapi Aku biasa disapa dengan panggilan Ahmad. Annisa Azzahra, ia adik perempuanku satu-satunya. Ia biasa dipanggil Icha, Icha sekarang berumur 10 sedangkan aku beurumur 15 tahun dan aku duduk di kelas tiga SMP Al Azhar. Icha memang agak berbeda dari anak-anak lainya, ia mengalami keterbelakangan mental atau dengan nama medis Down Syndrom. Sehingga ia sulit untuk bekomunikasi dan bergaul dengan anak-anak sebayanya. Ia pun tidak dapat bersekolah di sekolah-sekolah umum seperti anak-anak pada umumnya. Sehingga Ayah dan Ibu setuju untuk menyekolahkannya di sekolah luar biasa (SLB) Cinta Kasih Orang Tua. Ya, memang berat awalnya menerima keadaan Icha seperti demikian, tapi lambat laun kami pun mulai terbuka dan ikhlas menerima keadaan ini.
Hampir 1 tahun Icha bersekolah di SLB Cinta Kasih Orang Tua, dan ini tahun keduanya bersekolah disana. Kami sangat senang dapat melihat Icha dengan keadan seperti ini. Ia dapat berkomunikasi dikit demi sedikit hasil dari pembelajaran sekaligus terapi yang diadakan SLB tersebut. Awal tahun keduanya ia bersekolah di SLB, icha mengalami banyak perkembangan, mulai dapat berkomunikasi walupun sedikit, kemudian dapat bergaul dengan anak-anak senasib dengannya.
Lima bulan ditahun keduanya bersokolah di SLB Cinta Kasih Orang Tua telah berlalu, Akan tetapi beranjak bulan keenamnya ada perubahan yang terjadi  pada Icha, ia jadi segan untuk bersekolah. Walaupun bersekolah ia tak sampai satu hari, guru pembimbingnya menghantarkannya pulang kerumah dengan menjelaskan bahwa Icha terus meminta untuk pulang. Kami pun merasa heran dengan keadannya Icha saat ini, ia tidak biasanya bertingkah laku seperti ini. Biasanya selalu ceria dan bersemangat saat ingin berangkat kesekolahnya.
Sampai suatu hari, disaat Icha ingin berangkat sekolah dan ibu pun telah siap untuk mengantarkan Icha kesekolahnya, tiba-tiba badan Icha panas sekali, suhu badannya mencapai 40 derajat Celcius. Ibu sangat khawatir dengan keaadan ini. Ayah sudah pergi bekerja dan aku pun sudah berangkat sekolah. Karena ibu khawatir dengan keadaan seperti ini, ibu langsung menelepon ayah untuk pulang kembali. Berselang 20 menit ayah pun tiba dirumah, dan ibu juga memeberitahu aku tahu aku melalui pesan singkat (SMS). Akupun pulang kerumah pas jam istirtahat siang dengan meminta izin kepada wali kelas ku atas kejadian yang terjadi pada Icha.
Setelah aku tiba dirumah Icha sudah bawa kekamar ayah dan ibu denga kepala dikompres dengan sehelai handuk basah. Dua harin berselang Icha belum pergi kesekolah, karena ibu dan ayah khawatir terjadi kenapa-kenapa bila Icha bersekolah. Guru pembimbing icha merasa khawatir, apakah ada sesuatu hal yang terjadi pada Icha karena Icha sudah dua hari tidak masuk sekolah. Ibu guru pun menelpon ibu, lalu menanyakan kabar Icha yang sebenarnya. Kemudian Ibuku menjelaskan apa yang terjadi, mendengar apa yang dijelaskan oleh ibuku Ibu Guru terkejut dan tak lama kemudian beliau datang kerumah untuk menjenguk Icha.
Dua hari telah beralalu, Icha kini mulai sehat kembali dan ia tak sabar untuk berangkat kesekolah untuk belajar dan bermain bersama teman-temannya. Ibu Guru pembimbing Icha merasa senang karena Icha dapat bersekolah lagi, satu hari ini berjalan seperti bagaimana biasanya. Icaha belajar berbicara, menulis, dan berhitung, tak ketinggalan bermain dengan teman-temannya. Sepulangnya Icha dirumah, Icha langsung meminta makan kepada ibu, Icha makan dengan lahap dan banyak tak seperti biasanya. Setelah makan Icha langsung tidur dengan ditemani ibu diiringi dongen kesukaan Icha. Tiba-tiba Icha terbangun dari tidurnya dan merintih kesakitan sambil memegang kepalanya. Suhu badanya pun panas sama seperti kejadian dua hari yang lalu.
Ibu dan Ayah segera membawanya kerumah sakit dan memerikasnya. Setelah diperiksa, ayah dan ibu mendengarkan hasil pemeriksaan dokter. Ternyata di kepala Icha terdapat benjolan kecil dan dokter mengatakan ini adalah gejala dari kanker otak. Mendengar penjelasan itu semua, Ayah dan Ibu sangat terkejut dah tak mempercayainya. Tapi apa boleh daya memang takdir sudah berkata demikian. Selama dua hari Ayah dan Ibu berkonsultasi dengan dokter untuk mendapatkan jalan yang baik untuk kesehatan Icha.
Dokter hanya menyampaikan Icha harus beristirahat yang cukup dan diminum obatnya sampai habis sesuai dengan aturan konsumsi. Tapi ada satu ahl yang disampaikan oleh dokter yang membuat Ayah dan Ibu tersengang dan kaget. Hanya ada satu sacara untuk menyembuhkan Icha yaitu dengan cara operasi. Operasi ini membutuhkan biaya yang besar yaitu sekitar dua ratus juta rupiah.
Ayah dan Ibu bingung dengan keadaan seperti ini. Dari mana uang sebanyak itu bisa didapat ?. Aku pun kaget mendengar apa yang ibu jelaskan pada ku tentang penjelasan dokter. Aku pun bingung apa yang harus aku perbuat sebagai seorang kakak untuk adiknya. Ayahku hanyalah seorang pegawi negeri yang berpenghasilan dua juta rupiah perbulan. Tidak mungkin cukup untuk memenuhi biaya operasi yang mahal itu. Kian hari berita tentang keadaan Icha terdengar banyak orang mulai dari tetengga, saudara dari ayah dan ibu, Ibu guru pembimbing Icha sampai teman-temaku di sekolah. Tanpa ada sepengetahuan ayah dan ibu, mereka semua ternyata menggalang dana untuk mengumpulkan uang guna biaya operasi Icha. Tidak sampai lima hari dana tersebut mencapai lebih dari dari cukup untuk membiayai operasi Icha. Ibu guru pembimbing sebagai perwakilan menyampaikan turut prihatin atas kondisi Icha dan menyerahkan dana untuk biaya operasi Icha. Kami sangat senang dan bersyukur ternyata banyak orang yang peduli dengan kondisi Icha saat ini.
Dua hari menjelang operasi, kondisi Icha semakin memburuk, tapi untung dokter dapat menangani dengan baik. Sehinnga tidak terjadi hal yang tidak diharapkan. Icha masih tebaring di tempat tidur rumah sakit dengan tangan diinfuse, tapi ia masih bisa dapat mengucapkan apa yang ia inginkan seperti mau minum dan mau pipis (baung air kecil). Senyuman yang hangat dan manis dari Icha itulah yang selalu menjadi motivasi kami untuk tidak menyerah dangan keadaan. Sehingga kami sangat mengharapkan Icha dapat sehat seperti sediakala.
Satu hari menjelang berjalannya operasi , Icha tidur dengan lelapnya. Kemudian ia terbangun dari tidurnya dengan menebar senyum kepada ibu, ayah dan aku yang sedang berada di situ. Icha memegang erat tangan ibu yang duduk di samping tempat tidurnya, lalu ia berkata Icha Sayang dan cinta Ibu, Ayah dan Kaka dengan nada suara yang parau. Seketika pegangan erat Icha melemah dan matanya tertutup. Ayah dan Ibu panik akupun demikian, ibu menggerak-gerakkan badan Icha sambil memanggil-manggil namanya “ichaa..! Annisa…! Annisa Azzahra…! Dengan suara lirih dan air mata yang terus mengalir dipipi ibu. Ayah segera berlari untuk memangil dokter.
Aku pun tak tahan menehan air mata yang mengalir dengan derasnya. Meskipun dokter berusaha untuk mengembalikan detak jantungnya. Namun Alloh telah menentukan ajalnya. Kini Annisa telah pergi untuk selamanya.
Seseorang yang kami cinta, yang kami sayang walau dengan kondisi fisik dan mental yang terbelakang kini telah tiada. Kami hanya bisa mengenang senyum manis dan hangatnya serta barang-barang peninggalan Icha.
Selamat jalan adikku Icha, Annsia Azzahra. Semoga engkau mendapatkan tempat yang terbaik di sisi-Nya.




                                                 Karya : Faisal Abriansyah (Selasa, 12 Juni 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar